Saturday, February 17, 2007

Tak Mengertikah Aku?

Kulihat indah permainya
Kurasakan desiran menggigilkan
Tetap kusambut dan kusambut
Kini kebekuan melingkupi
Tidak lagi sejuk
Tidak lagi nyaman
Melangkah dalam ngilu
Tertidur dalam nafsu
Kuingin apa yang kuingin
Biar pemirsa mencerca
Biar hakim memvonis
Asal mereka tahu diriku
Diriku adalah aku
Aku bukan kau
Kau tak dapat bunuh diriku
Diriku bebas dan bebas
Kujalani apa yang terjalan
Kedengkianmu takkan rubah inginku
Ya, akulah si ego
Biar kau bunuh, aku tetap hidup
Bingungmu adalah rahmatku
Bahagiaku adalah teka-teki
Gembiraku adalah misteri
Melonjak-lonjak saat ternoda
Bersorak-sorak saat tercemar
Tambahlah kebingunganmu
Tambahlah bahagiaku, gembiraku
Hidupku tak lebih hari-hari berlalu
Tanpa suatu daya menghilangkan penat bumi
Nuansa-nuansa hidup belum lagi berpendar
Kehidupan baru yang indahlah impianku
Keindahan yang penuh perjuangan
Idamanku idaman yang tak termengerti
Tak termengerti oleh apapun, juga kata dan huruf


Jakarta, 26 September 1994

Pelabuhan Keagungan

Pelabuhan kemegahan
Bersandar di sana perahu kepongahan
Tertambat berpuluh kapal keriaan
Pelabuhan kesombongan
Merapat di sana sampan-sampan tuli
Berlabuh berkumpul menambah tuli
Tak sadari hari telah senja
Gelap kan datang
Rembang mereka kata fajar
Mengambang mereka tak sadar
Berpesta sambut penghuni baru
Berpora mengubur kata hati
Terancam mereka tak peduli
Hampir tenggelam mereka tak perhati
Tequila telah sampai di leher mereka terbahak
Hangus mata mereka kian bangga
Betapa pedihnya gembira tawa mereka
Betapa pahitnya senyum bahagia mereka
Betapa hampanya pekik kemenangan mereka
Betapa tertipu keyakinan mereka
Betapa terjajah kemerdekaan mereka
Tak lihat mata mereka
Tak dengar telinga mereka
Tak rasa hati mereka
Pelabuhan keagungan telah rampung
Pelabuhan keagungan telah terisi
Perahu-perahu, kapal-kapal sampan, takwa
Bersandar di sana berlabuh di sana merapat
Bersiap menyambut kemenangan
Bersiap mengubur kepahitan
Bersiap menyongsong fajar
Pelabuhan keagungan telah kibar bendera
Kejayaan kebenaran telah tiba
Tak satupun dapat menahan
Tak satupun dapat hentikan
Kebenaran telah terbit hancurkan pelabuhan sesat
Kebenaran telah berjaya tenggelamkan pelabuhan syaitan
Kebenaran telah berangkat hanguskan pelabuhan jahanam
Kebenaran tebarkan kedamaian
Kebenaran hadirkan keinsafan
Kebenaran ciptakan keindahan
Kebenaran datangkan kebahagiaan
Tiada lagi prahara tak terjala
Tiada lagi perkara tak terbela
Semua semata kebenaran yang benar
Semata keadilan yang adil
Tenteramkan nyenyak rakyat
Nyamankan desah sawah
Sejukkan tetes api
Tenangkan resah lautan
Karena...pelabuhan keagungan telah rampung
Bangkit dan berjaya selamanya....


Jakarta 8 Juli 1994

KEMBALI INSYAFI

Kehidupan tanpa kasih
Amat pedih terasa
Terbayang usangnya usia
Penuh dengan kecongkakan
Sesal kini membara dada
Takkan kubiarkan bayang menghantu
Hari ini kan terlihat
Kerinduan palsu membuai
Menghentak-hentak dalam kalbu
Menyiksa tiap bulir darah
Kuyakin akan kebenaran yang benar
Kuyakin akan kesalahan yang salah
Tak mungkin ikuti arus
Harus segera akhiri petaka meronta
Tak ku peduli apa
Asal kupuaskan ini derita kupunya
Bagimu kusembahkan derita ini
Bagimu kusembahkan luka-luka nurani
Semoga kau terima dengan penuh
Semoga kau terima dengan teguh
Kebahagiaan adalah impian
Demi masa bahagia aku menangis
Agar terlega jiwa raga
Kuharap tak satupun penghalang
Sampainya pedihku padamu
Sampainya kelu di kalbu
Ya, semoga termengerti semua
Bahwa senyumku padamu adalah pahit
Bahwa candaku bersamamu adalah sembilu
Bahwa tawaku padamu adalah tangis
Semoga, semoga surya menerangi
Semoga bisikan mengingati
Semoga kondisi isyafi
Ya, kembali semoga dan semoga.....


Jakarta, 26 September 1994

OPTIMISKU

Dalam pelukan pedih
Dalam rangkulan perih
Dalam rengkuhan pilu
Ku tebar benih OPTIMIS
Ku coba pupuk agar tumbuh sehat
Dengan harap menjadi peneduh
Dengan harap menjadi penyejuk
Dalam misteri tua nanti
Dalam tanya hidup nanti
Kini dalam naungan tanya
OPTIMISKU belum sebesar gundah
OPTIMISKU belum sekuat resah
OPTIMISKU belum serimbun bimbang
Kemanakah kan ku berteduh
Kemanakah kan ku bernaung
Kemanakah kan ku berlindung
Sementara OPTIMISKU kerdil
Sementara OPTIMISKU terhama
Sementara OPTIMISKU merana
OPTIISKU malang OPTIMISKU sayang
OPTIMISKU ditilang
OPTIMISKU ditendang
OPTIMISKU dicincang
OPTIMISKU dibuang
OPTIMISKU sayang OPTIMISKU malang
Menggelepar dihembus sejuk bara
Menggeliat diterpa harum polusi
Mengejang dilindas nikmat ayunan sangkur
Oh, OPTIMISKU....



Jakarta, 21 Agustus 1996

Mungkin Tersampai Juga

Kutuliskan kata
Merangkai duka
Lepaskan beban
Menyiksa
Kuinginkan yang tak mungkin
Walau kutahu tetap kuingin
Biarlah bayang dalam benak
Tak lenyap
Kupuaskan hatiku
Dengan untaian mutiara
Berkilau tuk di puja
Mausia-manusia
Walau tak tercapai
Maksud tinta
Cukuplah lepas
Derita tak berbekas
Semoga keampunan
Legakan rongga
Kepala yang terjepit
Nadi-nadi kepalsuan

San diego, 3 Februari 2002

Kehidupan Yang Kuhidupi

Ego diri, tak kuasa kendalikan
Emosi tutupi akal sehat
Berbagai pelangi hantui benak
Terlaku yang tak kumau
Siksa segera tampak
Takuti jiwa sengsarakan raga
Benak terancu harapan pelangi
Hati terpana mati
Batin kembali basah
Membanjir seluruh tubuh
Tenggelamkan diri dalam kolam sesalan
Tak peduli kucoba, tetap ada
Walau begitu kuingin tak dapat
Meungkinkah demikian
Haruskah demikian
Pastilah demikian
Jalan-jalan yang nampak
Hanya tambahkan pilihan
Tanpa keputusan
Harus kujalani semua ini
Dengan keadaan diri yang mati
Demi tercapainya ingin diri
Demi hidupnya hidupku
Demi hidupnya matiku
Walau sakit terasa
Walau pedih terasa
Tak kupeduli apa
Karena kuyakin inilah hidup
Haidup yang harus kuhidupi.



Jakarta, 8 Juli 1994

TERDENGAR



Terdengar indah nyaringnya
Tumbukan meteor yang berbentur
Dalam riuhnya bintang berbaur
Terdengar nyaman dalam telinga
Remuknya hati dilanda cemas
Tengok sapu ruang hindari mata sang pengawas
Terdengar rikuhnya senyum
Tatkala terlihat sepasang tudingan
Yang bertanya dalam nada kewibawaan
Terdengar pilunya maaf
Saat temukan diri terpuruk
Di hadapkan pada secarik daun buruk
Terdengar lelahnya lengan berayun
Mengisi pedih dengan kalam
Saat tersadar pekatnya malam
Terdengar kejinya rayu mereka
Katakan beragam rona
Tak dapat tutupi aroma berbisa

Jakarta, 23 Agustus 1996

S E M O G A



Perlabuhanku bilakah tiba
Masa layar ini memabukkan
Jiwa raga rasa penat lelah
Nurani batin semua terjera

Perlabuhan hidup
Perburuan tak kunjung akhir
Pemuasan diri tak henti
Bagai nyala bara

Mungkinkah semua mengerti
Bentuk diri yang satu ini
Walau tak henti ku lari
Tak kulihat riang di hati

Seandainya gembiraku bahagia sejati
Akan jadi diri kuingin
Tak perduli apa
Takkan lagi bertanya

Gores-gores tawa di wajah
Adalah gores-gores tinta
Terlerai oleh tetes embun
Terburai oleh jerit di hati

Kapankah kan terungkap
Misteri diri menari-nari
Ejek otak lemah berpikir
Untuk menjadi manusia

Tak ada manusia yang manusia
Takkan kuperduli hati
Tak mungkin kuikuti segala
Walau sebersit tak terlintas

Putusnya prosa ini tujuanku
Hingga hilangnya senyum di wajah
Lelahnya jemari berlari
Demi mampuku berjalan

Moga terbukti dayaku
Moga terbukti sukmaku
Moge terbukti jiwaku
Moga terbukti ragaku


Moga.....moga....


Jakarta, 15 Maret 1995

KEHIDUPAN

Lapangnya nyanyianku
Adalah kunci cintaku
Yang kini termenung di atas
Bayang sendu hari nanti
Derasnya tangis ribuan ngengat
Menandai beratnya perjalanan
Hingga bebani sel-sel jiwa
Luruh bersama basahnya nurani
Seakan tidak akan terbangkit
Belulang ini ditampik dan disia
Bagai minuman mengalir menyejukkan
Cintamu kudamba dalam hidupku
Bagi cinta tetap kurindu
Hadirnya keperkasaan sejati
Hanya bagi kematangan jiwa
Tidak hanya kepalan dan butir peluru
Nurani takkan tahankan semua
Inilah prosa dunia penuh aksara
Prosaku yang penuh tanya
Legalah kiranya hati ini
Ketahui yang tak pasti
Telah kuyakin tumbuhkan
Sadar diri akan hidupnya hidup ini.



Jakarta, 15 Maret 1995
ABDIKU PADANYA


Jika daku pergi maka pergiku adalah pergi abadi
Jika daku mati maka matiku adalah mati suci
Jika daku berharap maka harapku adalah dari nurani
Jika daku bersumpah maka sumpahku adalah sumpah sejati
Jika daku mengutuk maka kutukku adalah dari hati
Jika daku bernyanyi maka nyanyiku adalah nyanyi surgawi
Jika daku menangis maka tangisku adalah tangis ruhani
Jika daku tertawa maka tawaku adalah tawa duniawi
Jika daku berjalan maka jalanku adalah jalan Illahi



Jakarta, 19 September 1994



BILAKAH



Kupetik gitar mainkan lagu tak tentu
Ikuti nyanyian hati sampai kulelah
Ku ketik kata-kata tak bermakna
Ikuti ingin diri sampai kupuas
Kugoreskan pena gambar tak berwujud
Ikuti alunan jiwa sampai ku usaikan
Kuayun langkah tak arah
Ikuti kelok liku jalan sampai ku lumpuh
Kuucap kata tak berarti sampai kuyakin
Ikuti bisikan nurani
Kurangkai hidup tak tuju
Ikuti mau Illahi sampai ku mati.....



Jakarta, 19 September 1994

Tanpamu...mungkinkah?

Ku tahu cintamu
Takkan biarkan
Diriku terjatuh
Kutahu cintamu
Terlalu diriku
Khianatimu

Maafkan diriku
Tak balas kasihmu
Maafkan diriku
Lelah penuhi ambisimu

Mengertilah
Kubutuh yang lain
Kuperlu yang lain
Ku tak ingin terpasung
Dalam istana cinta
Ku tak ingin menyesal
Di tengah duka

Kumohon bantulah diriku
Biarkanlah daku
Relakanlah daku
Pergi, pergi, pergi
Biarkanlah daku
Relakanlah daku
Dapati jati diri
Jalani hidup ini
Tanpa dirimu......


Jakarta, 13 Desember 1993

S E J A T I N Y A

Dalam pencarian nan melelahkan
Kujumpai rampai-rampai indah beracun
Sesakkan desah nafas
Nanarkan penglihatan
Dalam pencarian nan tak kunjung usai
Kuterpuruk tertimbun
Tak mampu rasa gerak
Tak kuasa rasa jerit
Bagai seorang kelana
Terlunta merana tersia
Tak peduli ajal menanti
Tetap ku lari dan lari
Bagai seorang kelana
Terlupa tak siapa
Tak peduli azab mengancam
Tetap ku pendam, kuredam dan kuhantam
Sayup terdengar nun jauh
Di relung pengap batinku
Jerit-jerit tertahan
Surakan nada rindu
Yang tak terpuas
Jengah yang tak terbias
Lamat-lamat terbayang
Sukaku nan buruk rupa
Antarkan mimpiku pada ujung
Kesadaran malam
Antarkan tangisku
Pada akhir kesaksian sejati

Mengapa Samudera Ini Memilukan?

Samudera
Disana kujumpa dia
Sahabat kawan karib saudara
Samudera
Tempat ku bekerja
Walau kini usai semua
Samudera
Hidupku dalam samudera
Samudera hidup
Hempasan-hempasan kecilmu
Riuh rendah gelombangmu
Letihkan jiwaku linukan kaki
Jerit-jerit tangis beribu kekalahan
Terngiang dalam benak
Adegan-adegan memilukan kekalahan
Memelas wajah yang tersisihkan kini
Akulah yang memilukan
Akulah yang memelas
Akulah yang menjerit
Akulah yang menangis
Mengingat masih luasnya
Tetes embun yang tak terjamah
Jemari lemah terluka parah
Mengingat prematurnya hidupku
Dalam samudera terlalu tua
Harus berlari langkah terseok
Harus melompat lutut terkunci
Harus menegap hari batin tercuri
Kegelapan si buta ternyata anugerah
Kesenyapan si tuli ternyata karunia
Kesunyian si bisu ternyata rahmat
Lalu apa yang kau peroleh dari
Kebahagiaan yang memilukan ini?

Jakarta, 21 Agustus 1996