Friday, May 15, 2009

Mengertilah

Riuh rendah manusia
Berlari ke sana ke mari
Gempita jaya manusia
Kisaran bumi
Satu dua tersandung
Satu dua merenung
Coba mengerti
Coba pahami
Apakah yang perlu dimengerti
Apakah yang perlu dipahami
Berlomba manusia temukan
Berlomba domba tumpukkan
Domba-domba tertawa
Bahagia
Demi waktu,
Apakah mereka pikir telah menang?
Demi masa,
Apakah mereka pikir telah raih surga?
Aku tak tahu
Aku tak mengerti
Hanya coba jalani hidup
Berjuang agar tidak menjadi domba laknat
Berjuang agar tidak menjadi domba terkutuk
Berjuang agar tidak menjadi domba tersesat
Aku tak mengerti apa yang harus kumengerti
Mengertikah kau apa yang harus kau mengerti?
Beritahu diriku segera agar dapat ku tuntaskan
Beritahu diriku segera agar dapat ku tunaikan
Sudah terlalu banyak hutang jiwaku pada pertiwi
Menjulang menumpuk sebarkan aroma bingung
Meninggi lebihi leher tebarkan pesona linglung
Kau rasakankah semua itu?
kau ciumkah aroma ini?
Apapun yang harus kau mengerti tidak akan pernah dapat
Apapun yang harus kau pahami tidak akan pernah dapat
Karena ia sendiri tidak dapat memahami
Karena ia sendiri tidak biarkan dipahami
Tidak ijinkan pemahaman apapun
Itulah hidup

Jakarta, 13 Maret 2007

6 Maret 2009

Tepat tiga puluh empat tahun lalu sebuah kehidupan baru dimulai bagiku
Berjuta asa berjuta harap mengiringi jerit tangis pertama dalam hirupan awal nafas
Kebahagiaan tak terhingga menyambut permata
Kegembiraan tak terlukis memegang karunia
Berjuta mimpi terbentuk berjuta indah terbentang mengawal sentuhan pertama
Siapa pernah sangka siapa pernah kira tak ada yang tahu apa terencana
Bertahun terjalani pasang kaki meretas nasib
Bertahun peristiwa membuka tabir takdir
Tak ada kuasa menolak tak ada mampu menghindar
Terseok arus terjerembab jungkal
Baik buruk panas teduh perih pedih luka menganga tertutup waktu tersembuh kisah baru
Bantingan hempasan puntiran hanya ada dalam kepala selebihnya hanya cara
Mari berduka maka hanya gelap mari bergembira maka akan terlupa
Baiknya waspadai
Terima dengan lapang tak berujung hadapi bulir-bulir nasib
Terima dengan lapang tak berakhir terima dengan syukur
Masih terperosok makin mengingkari bahkan menghujat dan menantang ku berani
Kembali diingati kembali dihadapi
Kuasa siapa yang berkuasa harga apa yang harus terbayar
Datanglah wahai detik-detik pengampunan tertunduk dalam cengang akan kuasa siapa
Datanglah dengan pergi duhai palsu kuasa
Datanglah demi cita terkubur dalam jiwa terdalam
Pergilah dengan senyum jangan lukai diri yang mengelupas geram
Pergilah demi asa akhir bahagia yang tak kunjung merupa
Tibalah sang sunyi telanjangi diri sampai ke butir-butir terhina diri
Tibalah sang sunyi demi kesungguhan dunia nanti nan indah tak peduli betapa pahit kini
Sunyi kian hening menguji kebingaran menggoda kebisingan yang tampak indah sensual
Sunyi demikian rapat mengepung hingga timbul keributan tanpa suara
Sadarkah? Demi inikah terjadi semua? Karenanyakah terjadi? Atau hanya sugesti batin?
Tiga puluh empat tahun tepat hari ini kuberdiri di tempat terindah muka bumi miliki
Berdiri didampingi wanita terindah dalam hidup
Ku terlahir kembali dengan terucapnya sumpah dihadapan segala makhluk bumi langit
Ku terlahir lagi diiringi jutaan harap dan mimpi yang telah menyembuhkan luka diri
Sumpah untuk wanita terindah telah memberikan nafas awal dalam setengah renta hidup
Wanita terindah telah berikan sentuhan besar menyentuh dasar diri sadari permata
Wanita terindah tak rupawan tak bercela namun permata tetaplah permata
Wanita terindah adalah karunia hidupku yang baru
Wanita terindah terima kasih untuk bahagia ini asa ini mimpi ini
Terima kasih Lilisku....